Rabu, 26 September 2012

Kok susah memaafkan

Manusia hidup tidaklah selalu berjalan mulus kadang dia tersandung bahkan juga jatuh tersungkur… tapi dibalik itu semua adalah sebuah teguran bagi kita apakah apa yg telah kita lakukan saat ini telah sesuai dengan syari'ah yg telah ditentukan atau kita telah melenceng jauh dari ajaranNya ??? Manusia bisa salah, ketika dia merasa hidupnya sudah tidak lagi sesuai dengan norma-norma kehidupan yang berlaku..... Yang mengatakan manusia bisa salah pun adalah lingkungan sekitar yang selalu rajin menilai atau memperhatikan kehidupan orang lain, tanpa bercermin terlebih dulu pada dirinya sendiri. Memangnya siapakah yang berhak menghakimi hidup setiap orang? Siapakah yang berhak mengatakan setiap manusia bersalah? Hanya Allohlah yg berhak tuk menghakimi ketika manusia menyatakan hal itu salah tapi belum tentu Alloh menyatakan hal tersebut salah karena Alloh lebih bijak dalam menilai. Kadang kita pernah berbuat sebuah kesalahan pada orang lain ato kita sendiri yg diperlakukan salah oleh orang lain… itulah sebuah kehidupan karena manusia adalah makhluk social yg selalu membutuhkan orang lain n saling berinteraksi satu sama lain. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yg berhati bersih lapang jernih dan lurus krn memang suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yg berhati lapang tak jadi masalah. Sebalik hidup di tanah lapang tapi jikalau hati terpenjara tetap akan jadi masalah. Salah satu yg harus dilakukan agar seseorang terampil bening hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS. Al Qur’an, 7:199) Dalam ayat lain Allah berfirman: "...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An Nuur, 24:22) Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik: ... dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14) Juga dinyatakan dalam Al Qur'an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. "Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia." (Qur'an 42:43) Selain itu memberi maaf juga tidak mengubah nilai perbuatan salah menjadi benar. Meskipun kita memaafkan orang lain yang bersalah kepada kita, tidak berarti perbuatannya menjadi benar. Karena itu, setiap kali Anda merasa diperlakukan salah, maafkanlah, bahkan sebelum yang bersangkutan meminta maaf dan meskipun yang bersangkutan tidak meminta maaf. Karena memberi maaf lebih untuk kebaikan Anda daripada orang yang Anda beri maaf. Agar lebih mudah memaafkan orang lain maka serahkan urusan kesalahan orang lain kepada Tuhan. Setiap orang pasti menerima konsekuensi dari tingkah lakunya. Jika baik, maka akan berbalas baik. Dan jika buruk maka balasannya juga buruk. Tidak peduli apakah suatu keburukan akan dibalas dengan keburukan yang sama, akan dibalas langsung atau tertunda, akan dibalas di dunia atau di akhirat. Yang pasti, setiap keburukan pasti dapat balasan yang setimpal. Begitu indahnya urgensi memafkan dalam kehidupan, untuk itulah tanamkan rasa memaafkan pada diri kita meskipun kita diperlakukan tidak adil n didzolimi sesungguhnya Alloh maha pemaaf segala kesalahn umatnya kenapa kita sebagai hamba tidak berusaha untuk itu ? Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS.3:133-134). jika ingatan kita memang kuat dan selalu terbayang-bayang dengan kesalahan orang yang udah menyakiti kita, memaafkan kesalahannya adalah hal yang terbaik. Memaafkan memang sulit (beberapa orang mudah memaafkan, tapi yang lain bisa sulit banget, malah sampe bertahun-tahun baru bisa maafin), tapi nggak akan sulit kalau kita mau berusaha. Mulailah dengan meyakinkan diri bahwa memaafkan adalah hal yang mulia, dan kita akan disukai orang jika kita bersikap kayak gitu. Dengan begitu, kita bisa lebih mudah memaafkan kesalahan orang lain dengan setulus hati. Itulah salah satu cara me-manage emosi. Kalau nggak pandai-pandai ngatur emosi, kita bisa aja jadi orang yang menakutkan buat orang lain. Kamu nggak mau kayak gitu kan? Dan di Dunia ini pun tidak ada orang yang tidak pernah berbuat salah. Jika kita tidak bisa melupakan kesalahan orang lain terhadap kita, sepanjang hidup berapa banyak orang yang pernah berbuat salah kepada kita. Jika dibiarkan bukankah dendam akan menumpuk dihati kita yang akan merusak diri kita sendiri. http://id-id.facebook.com/notes/membumikan-dan-menghidupkan-al-quran-dan-hadist/kok-susah-memaafkan/209061522450230

Selasa, 04 September 2012

Mataku Tidak Bisa Terpejam Sebelum Engkau Ridha

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ فِي الْجَنَّةِ؟قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْلَ الله كُلُّ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ، إِذَا غَضِبَتْ أَوْ أُسِيْءَ إِلَيْهَا أَوْ غَضِبَ زَوْجُهَا، قَالَتْ: هَذِهِ يَدِيْ فِي يَدِكَ، لاَ أَكْتَحِلُ بِغَمْضٍ حَتَّى تَرْضَى “Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab: “Tentu saja wahai Rasulullaah!” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata: “Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath dan Ash Shaghir. Lihat Ash Shahihah hadits no. 3380) Istri yang menginginkan hidup penuh dengan kebahagiaan bersama suaminya adalah istri yang tidak mudah marah. Dan niscaya dia pun akan meredam kemarahan dirinya dan kemarahan suaminya dengan cinta dan kasih sayang demi menggapai kebahagiaan surga. Ia tahu bahwa kemuliaan dan posisi seorang istri akan semakin mulia dengan ridha suami. Dan ketika sang istri tahu bahwa ridha suami adalah salah satu sebab untuk masuk ke dalam surga, niscaya dia akan berusaha menggapai ridha suaminya tersebut. Allah Subhaanahu wa Ta’alaa berfirman ketika menjelaskan cirri-ciri orang yang bertaqwa, satu di antaranya adalah orang yang pemaaf ; وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Qs. Ali-Imran: 134) Wahai para istri shalihah, jadikan baktimu kepada suamimu berbalas ridha Allah. Lakukanlah baktimu dengan niat ikhlas karena Allah, berusahalah dengan sungguh-sungguh dan lakukan dengan cara yang baik. Lakukanlah untuk mendapatkan ridha suamimu, maka Allah pun akan ridha terhadapmu.. Insyaalah. Sebaliknya, apabila suami tidak ridha, Allah pun tidak memberikan keridhaan-Nya. Parahnya lagi, para malaikat pun akan melaknat istri yang durhaka. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan terhadapnya), maka penghuni langit murka kepadanya hingga suaminya ridha kepadanya.” (HR. Bukhari no. 5194 dan Muslim no.1436) Bahkan, apabila suami murka bisa mengakibatkan tertolaknya shalat yang dilakukan oleh sang istri. Wal iyyadzubillaah. Sebagaimana sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hadits riwayat Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa, ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ “Ada tiga kelompok yang shalatnya tidak terangkat walau hanya sejengkal di atas kepalanya (tidak diterima oleh Allah). Orang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, istri yang tidur sementara suaminya sedang marah kepadanya, dan dua saudara yang saling mendiamkan (memutuskan hubungan).” (HR. Ibnu Majah I/311 no. 971 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Misyakatul Mashabih no. 1128) Gapailah ridha Allah melalui ketaatan terhadap suami Marilah kita berusaha mendapatkan ridha Allah. Karena mendapatkan ridha Allah merupakan tujuan utama dari kehidupan seorang muslim. Dan kehidupan berumah tangga merupakan bagian darinya, dan satu diantara yang akan mendatangkan keridhaan Allah adalah proses ketaatan istri terhadap suaminya. Sebuah tujuan yang lebih agung daripada berbagai kenikmatan apapun. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’alaa, وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ “Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (Qs. At-Taubah: 72) Diutamakannya ridha Allah atas nikmat yang lain menunjukkan bahwa sekecil apapun yang akan membuahkan ridha Allah, itu lebih baik daripada semua jenis kenikmatan. Seorang istri hendaknya menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utama. Harapan untuk meraih ridha Allah inilah yang seharusnya dijadikan motivasi bagi istri untuk senantiasa melaksanakan ketaatan kepada sang suami. Jika Allah sudah memberikan ridha-Nya, adakah hal lain yang lebih baik untuk diharapkan? Tapi ingatlah saudariku, bahwasanya ketaatan terhadap suami bukanlah sesuatu yang mutlak, tidak boleh taat kepadanya dalam hal kemaksiatan. Tidak ada alasan ketaatan untuk kemaksiatan. لاَ طَاعَةَ لِـمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْـخَالِقِ “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihahno. 179) Walaupun keluarga dalam masalah, seperti himpitan ekonomi, hutang yang kelewat besar atau persoalan kehidupan lainnya, seorang istri tetap tidak dibenarkan menuruti perintah suaminya yang melanggar kaidah syar’i. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ “Tidak ada kewajiban taat jika diperintahkan untuk durhaka kepada Allah. Kewajiban taat hanya ada dalam kebajikan” (HR Ahmad no 724. Syeikh Syuaib Al Arnauth mengatakan, “Sanadnya shahih menurut kriteria Bukhari dan Muslim”). Dan ketahuilah duhai para istri shalihah, bahwasanya ridha suami berlaku pula untuk amalan sunnah yang hendak dikerjakan oleh sang istri, seperti berpuasa atau menerima tamu. Dalam hal ini, istri juga wajib mendapat ridha suami melalui izinnya. Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita, لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ “Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan tidak halal memberi izin (kepada orang lain untuk masuk) ke rumahnya kecuali dengan seizin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026) Memang benar adanya bahwa kehidupan yang telah dan sedang kita jalani telah memberikan banyak pengalaman berupa tantangan dan kesulitan dalam kehidupan suami istri. Hadapilah kesulitan-kesulitan tersebut dengan kesabaran dan ketabahan. Perhatikanlah apa yang dikatakan Abu Darda’ kepada istrinya, Disebutkan dalam Tariqh Damasyqus (70/151) dari Baqiyah bin Al-Walid bahwa Ibrahim bin Adham berkata, Abu Darda’ berkata kepada istrinya Ummu Darda’. إذا غضبت أرضيتك وإذا غضبت فارضيني فإنك إن لم تفعلي ذلك فما أسرع ما نفترق ثم قال إبراهيم لبقية يا أخي وكان يؤاخيه هكذا الإخوان إن لم يكونوا كذا ما أسرع ما يفترقون “Jika kamu sedang marah, maka aku akan membuatmu jadi ridha dan Apabila aku sedang marah, maka buatlah aku ridha dan. Jika tidak maka kita tidak akan menyatu. Kemudian Ibrahim berkata kepada Baqiyah “Wahai saudaraku, begitulah seharusnya orang-orang yang saling bersaudara itu dalam melakukan persaudaraannya, kalau tidak begitu, maka mereka akan segera berpisah”. Suamimu bukanlah malaikat Sadarilah pula wahai para istri yang shalihah.. bahwa suami kita bukanlah malaikat, dan tidak akan pernah berubah menjadi malaikat. Kalau kita menyadari akan hal ini, persiapkanlah diri kita untuk menerima kesalahan dan kekeliruan suami kita, serta berusaha untuk tidak mempermasalahkannya. Karena berbuat salah sudah menjadi tabiat manusia. Kita bisa mengambil sikap bijak untuk menanggulangi kesalahan-kesalahan tersebut. Bukan dengan mengikuti kesalahan-kesalahan suami, tetapi bisa melalui dua hal. Pertama, Menasehati suami dengan cara yang baik apabila terbukti jelas ia berbuat kesalahan dalam kehidupan rumah tangga. Kedua, tidak mencela dan mencemoohnya bila ia berulang kali melakukan kesalahan yang sulit dihindari tabiatnya, dan ini pasti ada dalam kehidupan berumah tangga, akan tetapi bantulah dia untuk memperaiki diri dan meninggalkan kesalahan tersebut. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 19) Bersyukurlah akan anugerah dari Allah kepada kita berupa sang suami Duhai para istri.. Marilah kita sadari bahwasanya suami yang Allah anugerahkan kepada kita adalah sebuah nikmat yang besar. Perhatikanlah di sekeliling kita! Betapa banyak para wanita yang mendambakan kehadiran seorang suami, tapi belum juga mendapatkannya. Dan betapa banyak pula wanita-wanita yang terpisah jauh dari suaminya, bahkan betapa banyak pula wanita-wanita yang kehilangan suaminya. Bersyukurlah duhai para istri shalihah. Janganlah sampai kita tergolong ke dalam firman Allah berikut ini. وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur (berterima kasih)”. (Qs. Saba’:13) Perhatikan hak-hak suami dan peranan masing-masing istri dan suami Dan ingatlah pula bahwasanya suami adalah nahkoda bagi rumah tangga kita. Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa berfirman, الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. An-Nisaa’ 34) Ya, suami adalah pemimpin rumah tangga kita. Maka dari itu, kita (suami dan istri) harus saling memahami peran masing-masing di dalam rumah tangga. Taatilah suami kita dengan baik selama bukan ketaatan dalam perbuatan maksiat. Karena taat kepada suami merupakan salah satu kewajiban kita sebagai istri. Dengan begitu, kita bisa merebut hati suami kita dan kita pun akan mendapatkan ganjaran dari Allah berupa surganya yang indah. Perhatikanlah hadits berikut ini, إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah ke dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dan jagalah hak-hak suami kita. Sadarilah besarnya hak suami atas diri kita. Ingatlah, sejak kita menikah, maka sang suamilah yang paling berhak atas diri kita. Sampai-sampai Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا “Seandainya aku boleh menyuruh seseorang sujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh seorang wanita sujud kepada suaminya.” (Hadits shahih riwayat At-Tirmidzi, di shahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaa’ul Ghalil (VII/54). Bersyukurlah terhadap pemberian suami ورأيت النار فلم أر منظرا كاليوم قط ورأيت أكثر أهلها النساء قالوا: بم يا رسول الله ؟ قال بكفرهن قيل أيكفرن بالله ؟ قال: يكفرن العشير ويكفرن الإحسان لو أحسنت إلى إحداهن الدهر كله ثم رأت منك ما تكره قالت ما رأيت منك خيرا قط “Dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya, ‘Mengapa (demikian) wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam?’ Beliau shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, ‘Karena kekufuran mereka.’ Kemudian ditanya lagi, ‘Apakah mereka kufur kepada Allah?’ Beliau menjawab, ‘Mereka kufur terhadap suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata: ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari, no. 105 2 , dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma) Jangan selalu melihat kekurangan suami. Apabila kita menemukan adanya kekurangan pada diri suami kita, sadarilah bahwasanya kita pun mempunyai banyak kekurangan. Berusahalah untuk saling menutupi kekurangan-kekurangan yang ada. Dan bersyukur pulalah atas pemberian suami. Jangan sekali-kali istri meremehkan atau tidak suka kepada suaminya hanya karena uang yang diberikan suaminya terlalu kecil menurut pandangannya, padahal sang suami telah bekerja keras. Ingatlah kepada Allah apabila keinginan hendak meremehkan itu muncul. Bagaimana mungkin seorang istri meremehkan setiap tetes keringat suaminya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah menganggapnya mulia? Apapun pekerjaannya dan berapa pun penghasilannya, bukanlah masalah besar asalkan halal dan mampu dilakukan secara berkelanjutan. Bersyukurlah dan bersabarlah wahai para istri shalihah. Bukankah masih banyak orang-orang yang keadaannya jauh di bawah kita? Ingatlah akan sabda Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ “Pandanglah orang yang berada di bawah kalian (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah kalian memandang orang yang berada di atas kalian. Karena yang demikian itu lebih pantas agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kalian.”(HR Muslim, no. 2963) Bersyukurlah dengan kebaikan-kebaikan suami yang ada. Karena istri yang tidak bersyukur akan kebaikan suami adalah istri yang tidak bersyukur kepada Allah subhaanahu wa ta’alaa. Sebagaimana sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, لا يشكر الله من لا يشكر الناس “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia dia tidak bersyukur kepada Allah”. (Hadits riwayat Abu Daud dan di shahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (4811). Berusahalah untuk menjadi istri yang shalihah Berusahalah untuk menjadi istri yang shalihah. Istri shalihah, yaitu istri yang baik akidahnya, amal ibadahnya dan baik pula akhlaknya. Bagi seorang suami, istri shalihah tak sekedar istri. Ia adalah teman di setiap langkah kehidupan, pengingat di kala lalai, penuntun di saat tersesat, dan ia adalah ustaadzah bagi rumah tangganya. Sungguh, tiada kebahagiaan di dunia yang lebih indah daripada bersanding dengan istri shalihah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَة “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim no. 1467) Menjadi istri shalihah adalah sebuah kemungkinan yang dapat diraih dengan keihklasan dan bersungguh-sungguh dengan penuh ketulusan. Pelajarilah bagaimana wanita terdahulu mampu meraihnya. Contohlah mereka dan lakukan dalam rumah tangga kita. Jika sudah demikian, bersabarlah untuk memetik hasilnya. Kita sadari bahwasanya, Kita bukanlah Hajar, yang begitu taat dalam ketakwaan, Kita bukanlah Asiyah, yang begitu sempurna dalam kesabaran, Kita bukanlah Khadijah, yang menjadi teladan dalam kesetiaan, Kita bukanlah ‘Aisyah, yang menjadikan indah seisi dunia, Tetapi kita, hanyalah seorang istri yang berusaha meraih predikat “Shalihah”. Wa shallallaahu ‘ala nabiyyiinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam *** muslimah.or.id Penulis: Yuhilda Ummu Izzah Muraja’ah: Ustadz Abu Salman Hafizhahullaahu Ta’alaa

Untuk Siapa Wanita Bekerja

Haruskah seorang wanita bekerja? Bagaimana jika wanita tersebut telah menikah, bukankah suami yang seharusnya mencukupi kebutuhannya? Lalu bagaimana bila suami belum dapat memenuhi semua kebutuhan keluarga? Dan jika tidak bekerja, lalu buat apa wanita diperbolehkan sekolah hingga ke perguruan tinggi dan bahkan terkadang prestasinya lebih baik dari laki-laki?! Adakah pertanyaan tersebut pernah terbesit dalam benak kita, wahai saudariku? Dilema yang dihadapi kaum muslimah terutama setelah menikah dan mempunyai keturunan. Pilihan yang dirasa berat saat harus memilih antara pekerjaan dan keluarga. Karenanya banyak yang memilih untuk menjalankan keduanya. Jika dilakukan survei apakah alasan wanita memilih tetap bekerja setelah menikah dan memiliki anak, beragam alasan yang muncul. Mungkin alasan yang terbanyak adalah karena faktor ekonomi. Tingginya kebutuhan keluarga dan harga yang terus meningkat tidak selalu berjalan searah dengan peningkatan penghasilan menyebabkan istri dituntut pula untuk membantu suami dalam mencari nafkah keluarga. Selain masalah ekonomi, ada juga muslimah yang bekerja karena ingin mengabdikan ilmu yang telah didapatnya seperti dokter, guru dan lainnya. Dan mungkin ada juga muslimah yang bekerja untuk dapat meniti karirnya dibidang tertentu. Namun, selain alasan-alasan diatas, ada pula muslimah yang memilih tetap bekerja karena merasa bosan dengan pekerjaan rutinitas mengurus rumah tangga atau karena anggapan bahwa dengan bekerja pergaulan dan statusnya lebih baik dibanding hanya menjadi ibu rumah tangga. Islam tidak melarang seorang muslimah untuk bekerja, bukankah putri Rasulullah Fatimah mendapatkan upah dari hasil menumbuk gandum. Kisah istri Nabi Ayub yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga ketika Nabi Ayub tengah sakit, juga adalah contoh bagaimana muslimah mengambil peran dalam turut memenuhi kebutuhan keluarga. Namun tentunya Islam sebagai agama yang sempurna dan komplit memberikan petunjuk dan arahan apa dan bagaimana sebaiknya muslimah bekerja. Dan tidak hanya batasan mengenai pekerjaan apa yang baik, apa yang harus dihindari, tetapi Islam pun memberikan panduan tentang penghasilan serta harta seorang muslimah yang bekerja. Tugas atau peran utama yang harus dijalankan oleh seorang muslimah yang telah menjadi istri dan ibu adalah mengurus rumah tangga, mendidik anak, menjaga harta suami, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah yang tak kalah beratnya dari pekerjaan suami untuk memenuhi nafkah. Seorang istri tidak memiliki kewajiban untuk turut mencari nafkah, karena kewajiban ini telah dibebankan kepada suami. "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf." (Al Baqarah: 233) "Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang telah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan." (Ath-Thalaq: 6) Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak seperti yang diperintahkan dalam ayat diatas. Dan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak berlaku meski suami miskin atau istri dalam keadaan kaya/berkecukupan. "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah ‎ berikan kepadanya. ‎Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (Ath-Thalaq:7) Mengenai besaran nafkah yang harus diberikan suami untuk keluarga, menurut beberapa ulama adalah disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. Hal ini sesuai dengan hadist; "Ambilah nafkah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik." (HR Bukhari) Standar minimal bagi seorang suami dalam memberikan nafkah kepada keluarga adalah batas kecukupan. Tidak ada jumlah yang pasti untuk nafkah karena perbedaan waktu, kebiasaan, murah dan mahalnya barang kebutuhan. Untuk itu suami harus memperkirakan nafkah secukupnya untuk istri dan anak-anak, baik itu makanan beserta lauknya, pakaian dan kebutuhan lainnya. Batas kecukupan inilah yang terkadang memicu perselisihan, karena setiap orang/masyarakat mempunyai standar kecukupan terhadap kebutuhan yang berbeda. Keluarga yang tinggal di desa dengan keluarga yang tinggal di kota akan berbeda standar kecukupannya, meski sebenarnya kebutuhan dasarnya adalah sama. Seorang istri yang berasal dari keluarga kaya tentu memiliki standar kecukupan yang berbeda dengan istri yang berasal dari keluarga sederhana. Untuk itu fuqaha Syafi'iyah menilai ukuran kecukupan didasarkan pada ketentuan syariat. Nafkah yang harus dipenuhi suami kepada istri, antara lain tempat tinggal, makan dan minum, pakaian, dan biaya kesehatan ketika sakit. Hal tersebut adalah nafkah yang utama disamping nafkah lainnya yang mengikuti sesuai dengan kebutuhan. Suami berkewajiban memberikan tempat tinggal untuk ditempati bersama demi mewujudkan ketenangan dan cinta kasih diantara keduanya. Tempat tinggal tidak disyaratkan harus hak milik suami, karena dapat juga sewa atau berupa pinjaman. Mengenai makanan dan minuman suami memberikan nafkah sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, seperti misalnya suami menyediakan berbagai peralatan dapur serta memberikan uang belanja agar istri dapat memasak. Suami pun wajib memberikan pakaian kepada istri dengan yang baik. Dan mengenai pakaian bagi istri, Islam telah mengatur bagaimana pakaian yang sesuai syariat. Jika istri terbiasa dengan adanya khadimah, maka suamipun dianjurkan untuk dapat memenuhinya. Namun hal ini tentu kembali kepada kemampuan dari suami. “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (Ath-Thalaq:7) “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang miskin menurut kemampuannya (pula).” (Al-Baqarah: 236) Biaya hidup untuk memenuhi beragam kebutuhan tersebut kian tahun selalu meningkat. Dan alasan inilah yang menyebabkan banyak muslimah yang turut membantu suami dalam mencari nafkah. Jika dulu mungkin pekerjaan yang tersedia untuk para muslimah adalah pekerjaan-pekerjaan yang tidak jauh dari pekerjaan yang berkaitan dengan rumah tangga. Sekarang ini seiring dengan akses untuk pendidikan yang lebih terbuka baik untuk pria maupun wanita, lapangan pekerjaan pun semakin luas untuk para wanita. Bahkan ada yang mengatakan dengan disebarluaskannya isu kesetaraan gender, wanita memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk setiap bidang pekerjaan. Karena hal tersebut juga, sebagian orang berpendapat masuknya wanita pada pekerjaan di sektor publik mempersempit lapangan kerja bagi lelaki, sehingga lelaki menjadi sulit mendapat pekerjaan. Banyak industri yang terutama perusahaan kapitalis lebih memilih pekerja wanita karena dinilai lebih teliti, lebih tekun dan lebih kecil upahnya atau kesejahteraan yang harus ditanggungnya. Entah pendapat tersebut benar atau tidak, perlu dikaji lebih dalam lagi. Tetapi, ada hal yang perlu menjadi renungan kita bersama wahai ukti, ketika kita memutuskan untuk bekerja membantu suami memenuhi nafkah keluarga. Luruskanlah niat kita untuk benar-benar membantu suami memenuhi nafkah keluarga, bukan karena ingin mengejar karir, kedudukan, popularitas atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain yang bukan utama dan hanya karena ingin terlihat lebih baik dimata orang lain. Di tengah arus informasi yang deras, tidak semua berita dan informasi benar dan bermanfaat. Ada beberapa pihak yang sengaja memanfaatkan wanita sebagai objek komersial, seperti propaganda kecantikan dengan berbagai produk perawatan hingga fashion. Image sebagai wanita modern yang memiliki karir dan keluarga harmonis menjadi topik di media-media, bahkan media yang khusus wanita tumbuh pesat. Wanita-wanita sukses menurut versi media kebanyakan adalah yang memiliki karir di posisi tinggi pada perusahaan dan memiliki keluarga yang harmonis dimana anak-anaknya memiliki prestasi akademis atau seni yang baik. Sebagai muslimah, kita perlu terus memperkaya diri dengan ilmu yang berasal dari Quran dan Hadist agar dapat memilah dan memilih informasi yang benar dan bermanfaat bagi diri dan keluarga. Tugas utama manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt., dan ini berlaku untuk lelaki maupun wanita. Dan bagi wanita muslimah ketika telah berkeluarga tugas utamanya adalah melayani suami, melahirkan dan merawat serta mendidik anak-anak, dan menjaga rumah, harta dan kehormatan suami. Para ulama berpendapat bahwa melakukan pekerjaan rumah tidak merupakan kewajiban bagi istri, tetapi hal itu dianjurkan sebagaimana kebiasaan yang berlaku dan istri mendapat pahala dengan mengerjakan pekerjaan rumah secara ikhlas. Islam tidak melarang seorang wanita untuk bekerja, namun ada beberapa kekhawatiran seiring dengan semakin banyaknya wanita yang memutuskan untuk tetap bekerja dan mengejar karir di luar rumah. Beberapa dampak negatif yang timbul diantaranya keluarga terpecah karena suami istri sibuk bekerja dan anak-anak menjadi terlantar, istri menjadi terlalu lelah karena konsentrasi yang terbagi antara beban pekerjaan di luar rumah dan juga dirumah, banyak penelitian mengungkap salah satu pemicu angka perceraian meningkat adalah kerena wanita terlalu sibuk di luar rumah sehingga mengabaikan urusan rumah tangga dan memicu pertikaian, angka pengangguran lelaki yang meningkat, dan tersebarnya fenomena kerusakan sosial di masyarakat. Sebelum memutuskan untuk bekerja di luar rumah, ada baiknya melihat pada beberapa faktor syar’i yang mendorong seorang muslimah untuk bekerja di luar rumah antara lain:  Suami kesulitan memberi nafkah istri dan keluarga. Syariat memberi pilihan bagi istri yang suaminya tidak mampu memberi nafkah antara mengajukan fasakh atau tetap bertahan sebagai istri, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Istri yang memilih mempertahankan kehidupan suami istri terpaks harus bekerja untuk mendapatkan materi sebagai penopang kehidupannya dan juga keluarga.  Suami dengan pendapatan terbatas sementara istri tidak bisa bekerja karena sibuk membangun kehidupan mulia bersama anak-anak. Akhirnya kondisi ini mendorong istri bekerja untuk mendapatkan materi yang bisa meningkatkan taraf hidup pribadi dan keluarga atas kerelaan hatinya.  Istri memiliki utang yang harus dilunasi sehingga istri terdorong bekerja demi mendapatkan uang untuk menutup utang tersebut. Selain itu, bagi seorang muslimah ada kaidah-kaidah syar’i yang perlu diperhatikan ketika bekerja di luar rumah untuk menghindari berbagai sisi negatif:  Mengenakan pakaian syar’i yang diwajibkan Allah untuk menutupi aurat serta menjaga kehormatan dan kemuliaan  Tempat kerja tidak membaur dengan kaum lelaki dalam bentuk yang bisa menimbulkan kerusakan. Sementara jika berinteraksi dengan kaum lelaki namun tetap mengindahkan kaidah-kaidah syar’i, hukumnya tidak apa-apa, dengan catatan si wanita tidak berhadapan langsung dengan lelaki.  Pekerjaan yang dilakukan harus halal dan tidak bertentangan dengan nash-nash syariat. Misalnya, mereka tidak boleh bekerja di bank-bank ribawi atau bekerja di tempat-tempat pemicu perbuatan keji, maksiat dan lainnya yang diharamkan Allah.  Suami tahu si istri bekerja di tempatnya, tidak boleh keluar meninggalkan tempat kerja tanpa izin suaminya. Hal ini tidak mesti suami tahu setiap hari, tetapi cukup dengan izi secara umum sebelumnya.  Harus mengindahkan etika-etika Islami dalam berinteraksi dengan orang lain. Misalnya menjawab salam, menundukkan pandangan, tidak menggunjing orang lain, menghindari berduaan dengan lelaki yang bukan mahram, saat bicara harus tegas tanpa dibuat-buat atau dengan tutur kata lembut saat berbicara dengan lelaki.  Bertakwa kepada Allah dalam melakukan pekerjaa dengan menunaikannya secara baik karena pekerjaan yang ditugaskan merupakan amanat.  Sebelum keluar meninggalkan rumah harus memastikan makanan untuk anak-anak dan siapa yang menjaga mereka. Misalnya, dititipkan pada keluarga atau orang yang dikenal yang bisa dipastikan anak-anak aman selama si ibu bekerja. Atau dititipkan pada pembantu dengan catatan si pembantu harus bisa dipercaya dan amanah. Atau menitipkan ke lembaga pendidikan dan tempat-tempat pengasuhan anak yang terpercaya. Hal tersebut untuk menghindari apa yang dikatakan Rasulullah: “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”  Harus mendapatkan izin suami untuk pergi bekerja. Terlebih ketika suami tergolong kaya dan mampu memberi nafkah. Lain soal ketika suami miskin dan tidak mampu memberi nafkah, saat itu suami tidak boleh melarang istrinya bekerja.  Harus menunaikan hak suami di rumah. Bekerja di luar tidak boleh membuat istri lalai dalam menunaikan hak suami, misalnya tidak pulang dalam jangka waktu lama saat suami berada di rumah. Khususnya ketika suami sangat memerlukan keberadaannya. Jika syarat-syarat yang disebutkan diatas telah terpenuhi, maka sah-sah saja bekerja di luar rumah tanpa resiko apapun. Ketika seorang istri bekerja, ia akan memiliki penghasilan sendiri dan penghasilan yang dimiliki oleh istri adalah hak sepenuhnya istri untuk menggunakannya, karena kewajiban untuk memberikan nafkah hanya ada pada suami. Namun, istri yang memberikan penghasilannya untuk keperluan keluarga dan rumah tangga terhitung sebagai sedekah. Dan jika ada kesepakatan antara suami istri untuk turut bersama memenuhi kebutuhan keluarga di atas prinsip kasih sayang adalah solusi yang terbaik. Sekarang ini, banyak sekali peluang pekerjaan bagi wanita, namun tidak sedikit pula peluang-peluang bisnis yang dapat dikerjakan di rumah. Untuk itu, mari sama-sama kembali meluruskan niat ketika harus meninggalkan keluarga dan bekerja di luar rumah untuk benar-benar membantu suami dan meningkatkan taraf hidup yang lebih baik dalam membangun mahligai rumah tangga. Melakukan pekerjaan dengan baik karena itu bentuk dari menjalankan kewajiban untuk menjalankan amanah sesuai dengan yang Allah dan Rasulullah contohkan, bukan karena ingin mendapatkan kedudukan/karir yang baik serta penghasilan yang tinggi. Terus mendukung suami untuk dapat melaksanakan tugasnya dalam memenuhi nafkah dan aturlah kesepakatan keperluan rumah tangga mana yang dapat dibantu dari penghasilan istri. Seperti yang disebutkan dalam surat Ath-Thalaq (7) “Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” Utamakanlah pemenuhan kebutuhan keluarga dan rumah tangga, bukan hanya menuntut nafkah kepada suami untuk hal-hal yang sifatnya hanya pelengkap dan hanya untuk penampilan atau kesenangan semata. Wallahua'lam. [wn] Sumber : Saat Istri Punya Penghasilan Sendiri, Hannan Abdul Aziz, Penerbit Aqwam

Sabtu, 01 September 2012

Nasihat Rasulullah Untuk Para Istri

1. Menerima dengan ikhlas kepemimpinan suami dan qanaah kepadanya “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An-Nisa: 34) “…. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunya kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 228) 2. Keridhaan suami atas sikap istri adalah pintu surga bagi istri “Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad dan selainnya) “Jika wanita mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, memelihara kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka dikatakan kepadanya (pada hari Kiamat): ‘Masuklah ke dalam Surga dari pintu manapun yang kamu suka’”. (HR. Ahmad) 3. Mentaati suami, kecuali dalam perkara maksiat “Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad) “Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuznya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34) “Rasulullah SAW pernah ditanya tentang isteri yang baik. Beliau menjawab: Apabila diperintah, ia selalu taat, apabila dipandang menyenangkan, dan ia selalu menjaga diri dan harta suami (manakala suaminya tidak ada)” (HR. Nasa`i) “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim) Tidaklah seorang mukmin mengambil manfaat setelah ketakwaan kepada Allah SWT yang lebih baik daripada istri shalihah: jika ia menyuruhnya, ia mentaatinya; jika ia memandangnya, ia menyenangkan hatinya; jika ia bersumpah kepadanya, ia menunaikan sumpahnya; dan jia ia sedang pergi darinya, ia memelihara kesucian diri dan menjaga harta suaminya.” (HR. Ibnu Majah) 4. Membantu suami dalam menegakkan agama dan memelihara kehormatannya “Harta yang utama adalah lisan yang senantiasa berdzikir, hati yang senantiasa bersyukur dan istri beriman yang membantu suami dalam menegakkan bangunan imannya”. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi) “Wanita itu pemimpin di rumah suaminya.” (HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi) “Sebaik-baiknya istri kalian ialah yang penuh kasih dan taat terhadap suaminya jika mereka bertakwa kepada Allah. Dan seburuk-buruk istri kalian ialah yang bersolek dan banyak akal (untuk memperdaya suaminya); mereka adalah munafik, yang tidak akan masuk Surga dari mereka kecuali seperti gagak yang kedua kaki dan paruhnya berwarna merah.” (HR. Abu Nu’aim) “Wanita manapun yang menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah merusak tabir-Nya darinya.” (HR. At-Tirmidzi) 5. Tidak keluar rumah kecuali atas izin suami “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. ….” (Al-Ahzab: 33) “…..janganlah ia keluar rumah dalam keadaan suaminya tidak ridha.” (HR. Baihaqi dan Hakim) “Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka janganlah menghalanginya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan yang lainnya) “Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya, shalatnya di bilik khususnya lebih utama dari shalatnya di rumahnya.” (HR. Abu-Dawud) 6. Tidak berpuasa sunnah kecuali atas izin suami “Tidak halal bagi wanita melaksanakan puasa, sedangkan suaminya ada di rumah, kecuali dengan seizinnya.” (HR. Al-Bukhari, dan Muslim) 7. Tidak menyakiti suami serta tidak menuntut kepadanya sesuatu yang tidak dibutuhkan dan melebihi kesanggupannya “Tidaklah seorang wanita menyakiti hati suaminya di dunia, melainkan istrinya yang berasal dari kalangan bidadari berkata: ‘Jangan sakiti dia, semoga Allah membinasakanmu. Ia hanyalah seorang yang lemah yang nyaris meninggalkanmu (untuk pergi) kepada kami’ ” (HR. At-Tirmidzi) “Ridhalah dengan apa yang Allah berikan kepadamu, niscaya engkau menjadi manusia paling kaya.” (HR. Al-Bukhari) “Allah tidak memandang seorang wanita yang tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal dia butuh kepadanya.” (HR. An-Nasai) “Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka pada suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari dan Muslim) 8. Tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izin suami “Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibn Majah) 9. Tidak boleh menginfaqkan sebagian hartanya kecuali atas izin suami “Seorang istiri tidak boleh menginfakkan sebagian harta suami kecuali dengan izinnya” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hasan)***