Hari demi hari telah kita lalui, semakin dekat perjumpaan kita dengan Sang Maha Pencipta..
Minggu, 25 November 2012
Ada Apa Dengan Bank Konvensional?
Perekonomian adalah salah satu bidang yang diperhatikan oleh syari'at Islam dan diatur dengan undang-undang yang penuh dengan kebaikan dan bersih dari kedhaliman. Oleh karenanya, Allah mengharamkan riba yang menyimpan berbagai dampak negatif bagi umat manusia dan merusak perekonomian bangsa.
Sejarah dan fakta menjadi saksi nyata bahwa suatu perekonomian yang tidak dibangun di atas undang-undang Islam, maka kesudahannya adalah kesusahan dan kerugian. Bila anda ingin bukti sederhana, maka lihatlah kepada bank-bank konvensional yang ada di sekitar kita, bagaimana ia begitu megah bangunannya, tetapi keberkahan tiada terlihat darinya. Sungguh benar firman Allah:
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. (QS. Al-Baqoroh: 276)
Nah, di sinilah pentingnya bagi kita untuk mengetahui masalah Bank konvensional dan sejauh mana kesesuaiannya dengan hukum Islam karena pada zaman sekarang ini, Bank bagi kehidupan manusia hampir sulit dihindari.
DEFENISI BANK DAN SEJARAHNYA
Bank diambil dari bahasa Italia yang artinya meja. Konon penamaan itu disebabkan karena pekerjanya pada zaman dulu melakukan transaksi jual beli mata uang di tempat umum dengan duduk di atas meja. Kemudian modelnya terus berkembang sehingga berubah menjadi Bank yang sekarang banyak kita jumpai.
Bank didefenisikan sebagai suatu tempat untuk menyimpan harta manusia secara aman dan mengembalikan kepada pemiliknya ketika dibutuhkan. Pokok intinya adalah menerima tabungan dan memberikan pinjaman.
Bank yang pertama kali berdiri adalah di Bunduqiyyah, salah satu kota di Negara Italia pada tahun 1157 M. Kemudian terus mengalami perkembangan hingga perkembangan yang pesat sekali adalah pada abad ke-16, di mana pada tahun 1587 berdirilah di Negara Italia sebuah bank bernama Banco Della Pizza Dirialto dan berdiri juga pada tahun 1609 bank Amsterdam Belanda, kemudian berdiri bank-bank lainnya di Eropa. Sekitar tahun1898, Bank masuk ke Negara-negara Arab, di Mesir berdiri Bank Ahli Mishri dengan modal lima ratus ribu Junaih[1].
PEKERJAAN BANK
Seorang tidak bisa menghukumi sesuatu kecuali setelah mengetahui gambarannya dan pokok permasalahannya. Dari sinilah, penting bagi kita untuk mengetahui hakekat Bank agar kita bisa menimbangnya dengan kaca mata syari'at.
Pekerjaan Bank ada yang boleh dan ada yang haram, hal itu dapat kita gambarkan secara global sebagai berikut:
A. Pekerjaan Bank Yang Boleh
1. Transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman.
2. Menerbitkan kartu ATM untuk memudahkan pemiliknya ketika bepergian tanpa harus memberatkan diri dengan membawa uang di tas atau dompet.
3. Menyewakan lemari besi bagi orang yang ingin menaruh uang di situ.
4. Mempermudah hubungan dengan Negara-negara lain, di mana Bank banyak membantu para pedagang dalam mewakili penerimaan kwitansi pengiriman barang dan menyerahkan uang pembayarannya kepada penjual barang.
Pekerjaan-pekerjaan di atas dengan adanya ongkos pembayaran hukumnya adalah boleh dalam pandangan syari'at.
B. Pekerjaan Bank Yang Tidak Boleh
1. Menerima tabungan dengan imbalan bunga, lalu uang tabungan tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada manusia dengan bunga yang berlipat-lipat dari bunga yang diberikan kepada penabung.
2. Memberikan pinjaman uang kepada para pedagang dan selainnya dalam tempo waktu tertentu dengan syarat peminjam harus membayar lebih dari hutangnya dengan peresentase.
3. Membuat surat kuasa bagi para pedagang untuk meminjam kepada Bank tatkala mereka membutuhkan dengan jumlah uang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Tetapi bunga di sini tidak dihitung kecuali setelah menerima pinjaman.[2]
BUNGA BANK ADALAH RIBA
Dengan gambaran di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa kebanyakan pekerjaan Bank dibangun di atas riba yang hukumnya haram berdasarkan Al-Qur'an, hadits dan kesepakatan ulama Islam.
1. Dalil Al-Qur'an
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqoroh: 275)
Cukuplah bagi seorang muslim untuk membaca akhir surat Al-Baqoroh ayat 275-281, maka dia akan merinding akan dahsyatnya ancaman Allah kepada pelaku riba. Bacalah dan renungkanlah!!
2. Dalil hadits
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
3. Dalil Ijma'
Para ulama sepanjang zaman telah bersepakat tentang haramnya riba, barangsiapa membolehkannya maka dia kafir[3]. Bahkan, riba juga diharamkan dalam agama-agama sebelum Islam. Imam al-Mawardi berkata: "Allah tidak pernah membolehkan zina dan riba dalam syari'at manapun".[4]
Kalau ada yang berkata: Kami sepakat dengan anda bahwa riba hukumnya adalah haram, tetapi apakah bunga Bank termasuk riba?! Kami jawab: Wahai saudaraku, janganlah engkau tertipu dengan perubahan nama. Demi Allah, kalau bunga Bank itu tidak dinamakan dengan riba, maka tidak ada riba di dunia ini, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta, inilah keadaan bunga bank konvensional itu.
Kami tidak ingin memperpanjang permasalahan ini. Cukuplah sebagai renungan bagi kita bahwa telah digelar berbagai seminar dan diskusi tentang masalah ini, semunya menegaskan kebulatan bahwa bunga Bank konvensional adalah riba yang diharamkan Allah[5]. Bahkan dalam muktamar pertama tentang perekonomian Islam yang digelar di Mekkah dan dihadiri oleh tiga ratus peserta yang terdiri dari ulama syari'at dan pakar ekonomi internasional, tidak ada satupun di antara mereka yang menyelisihi tentang haramnya bunga Bank.
Sebagai faedah, kami akan menyebutkan beberapa fatwa dan muktamar besar yang menyimpulkan haramnya bunga Bank:
Keputusan muktamar kedua Majma' Buhuts Islamiyyah di Kairo pada bulan Muharram tahun 1385 H/Bulan Mei tahun 1965 M dan dihadiri oleh para peserta dari tiga puluh Negara.
Keputusan muktamar kedua Majma' Fiqih Islami di Jeddah pada 10-16 Rabi' Tsani 1406 H/22-28 Desember 1985 M.
Keputusan Majma' Robithoh Alam Islami yang diselenggarakan di Mekkah hari sabtu 12 Rojab 1406 H sampai sabtu 19 Rojab 1406 H.
Keputusan muktamar kedua tentang ekonomi Islami di Kuwait pada tahun 1403 H/1983 M.
Keputusan Majma' Fiqih Islam di India pada bulan Jumadi Ula 1410 H.[6]
Setelah menukil ijma' ulama tentang masalah haramnya bunga bank, DR. Ali bin Ahmad As-Salus mengatakan:
"Dengan demikian, maka masalah bunga bank menjadi masalah haram yang jelas dan bukan lagi perkara yang samar, sehingga tidak ada ruang lagi untukperselisihan dan fatwa-fatwa pribadi".[7]
Setelah konsensus ini, maka janganlah kita tertipu dengan berbagai syubhat (kerancuan) sebagian kalangan[8] yang berusaha untuk membolehkan riba Bank, apalagi para ulama telah bangkit untuk membedah syubhat-syubhat tersebut.[9]
BEKERJA DI BANK
Bila kita ketahui bahwa Bank adalah tempat riba yang diharamkan dalam Islam, maka bekerja di Bank hukumnya adalah haram, karena hal itu berarti membantu mereka dalam keharaman dan dosa, atau minimalnya adalah berarti dia ridho dengan kemunkaran yang dia lihat. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
(QS. Al-Maidah: 2)
Ayat ini merupakan kaidah umum tentang larangan tolong menolong di atas dosa dan kemaksiatan. Oleh karenanya, para ahli fiqih berdalil dengan ayat di atas tentang haramnya jual beli senjata pada saat fitnah, jual beli lilin untuk hari raya Nashoro dan sebagainya, karena semua itu termasuk tolong menolong di atas kebathilan.
Lebih jelas lagi, perhatikan bersamaku hadits berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
Imam Nawawi berkata: "Hadits ini jelas menunjukkan haramnya menjadi sekretaris untuk riba dan saksinya. Hadits ini juga menunjukkan haramnya membantu kebathilan".[10]
Para ulama kita sekarang telah menegaskan tentang tidak bolehnya menjadi pegawai Bank, sekalipun hanya sebagai satpam. Kewajiban baginya adalah menghindari dari laknat Allah dan mencari pekerjaan lain yang halal, sesungguhnya Allah Maha luas rizkiNya.[11]
BOLEHKAH MENYIMPAN UANG DI BANK?
Pada asalnya menyimpan uang di Bank hukumnya tidak boleh karena hal itu termasuk membantu kelancaran perekonomian riba yang jelas hukumnya haram, sebab uang tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada orang lain dengan riba. Oleh karena itu, maka pada asalnya setiap muslim harus putus hubungan dan thalak tiga dengan Bank. Hanya saja, pada zaman sekarang terkadang seorang tidak bisa menghindari diri dari Bank, sehingga para ulama membolehkannya apabila dalam keadaan dharurat sekali dan tidak ada cara lain untuk menyimpan hartanya.
Dari sini, dapat kita katakan bahwa orang yang menyimpan uang di Bank tidak keluar dari dua keadaan:
Pertama: Orang yang ingin membungakan dan mengembangkan hartanya dengan jalan riba. Tidak ragu lagi bahwa orang ini telah terjatuh dalam keharaman dan terancam dengan peperangan Allah dan rasulNya. Lantas, siapakah yang menang jika berhadapan dengan Allah dan rasulNya?!
فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ
Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqoroh: 279)
Kedua: Orang yang ingin menyimpan hartanya agar aman. Hal ini terbagi menjadi beberapa keadaan:
1. Apabila ada tempat lain atau bank Islam yang bersih dari riba untuk penyimpanan secara aman, maka tidak boleh dia menyimpan di bank konvensional karena tidak ada kebutuhan mendesak dan ada pengganti lainnya yang boleh.
2. Apabila tidak ada bank Islami yang bersih dari riba atau tempat aman lainnya padahal dia sangat khawatir bila harta tersebut akan dicuri atau lainnya, maka hukumnya adalah boleh karena dharurat. Hal ini berbeda-beda sesuai keadaan manusia. Artinya, tidak semua orang terdesak untuk menyimpan uangnya di Bank. Maka hendaknya seorang bertaqwa dan takut kepada Allah, janganlah dia meremehkan dengan alasan dharurat padahal tidak ada dharurat sama sekali sebagaimana banyak dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin.[12]
MEMANFAATKAN BUNGA BANK
Kalau kita katakan bahwa boleh menabung di Bank dalam kondisi dharurat, maka tentu saja akan muncul pertanyaan: Apa yang kita perbuat dengan bunga (baca: riba) yang diberikan Bank kepada tabungan kita?!
Kami katakan: Ada beberapa kemungkinan apa yang kita lakukan terhadapnya:
1. Mengambilnya dan memanfaatkannya seperti uang pokok.
2. Membiarkannya untuk Bank agar dimanfaatkan sesuka Bank.
3. Mengambilnya lalu merusaknya.
4. Mengambilnya lalu memberikannya kepada fakir miskin atau untuk keperluan umum bagi kemaslahatan kaum muslimin
5. Mengambilnya dan memberikannya kepada orang yang dizhalimi oleh Bank dengan riba.
Pendapat yang paling mendekati kebenaran -menurut kami- adalah pendapat keempat yaitu mengambilnya dan memberikannya kepada fakir miskin atau keperluan umum bukan dengan niat sedekah tetapi untuk membebaskan diri dari uang yang haram. Inilah pendapat yang dipilih oleh para ulama seperti Lajnah Daimah[13], al-Albani[14], Musthofa az-Zarqo dan lain sebagainya[15].
SOLUSI DAN SERUAN
Setelah keterangan singkat di atas maka sudah semestinya bagi kaum muslimin, khususnya kepada para pemimpin[16] untuk mengingkari bersama praktek riba yang berkembang di Bank dan berusaha untuk mendirikan Bank-Bank Islam yang bersih dari riba dan sesuai dengan undang-undang syari'at Islam yang mulia, atau memperbaiki bank-bank Islam yang sudah ada karena masih disinyalir oleh banyak kalangan belum bersih dari praktek riba dan belum memadai pelayanannya di semua penjuru kota.
Sungguh keji keji ucapan seorang bahwa tidak ada Bank kecuali dengan bunga dan tidak ada kekuatan ekonomi Islam kecuali dengan Bank[17]. Ini adalah kedustaan nyata, sebab sepanjang sejarah Islam berabad-abad lamanya, perekonomian mereka stabil tanpa Bank Riba.
Sekali lagi, kami menghimbau kepada para ulama, para pemimpin, para ahli ekonomi, para pedagang besar untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah ini dengan harapan agar Bank-Bank Islam yang bersih dari kotoran riba akan banyak bermunculan di Negeri kita tercinta sehingga kita tidak lagi membutuhkan kepada bank-bank riba. Dan kewajiban bagi setiap muslim untuk bahu-membahu mendukung ide tersebut agar mereka selamat dari jeratan riba yang menyebabkan murka Allah.
disusun oleh:
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi
DAFTAR REFERENSI
1. Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashiroh fil Fiqih Al-Islami karya DR. Muhammad Utsman Syubair, cet Dar Nafais, Yordania, cet keenam tahun 1427 H.
2. Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashiroh karya Sa'aduddin Muhammad Al-Kibbi, cet Maktab Islami, Bairut, cet pertama 1423 H.
3. Ar-Riba fil Mu'amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu'ashiroh karya DR. Abdullah bin Muhammad As-Saidi, cet Dar Thoibah, KSA, cet kedua 1421.
4. Qodhoya Fiqhiyyah Mu'ashiroh karya Muhammad Burhanuddin, cet Darul Qolam, Bairut, cet pertama 1408 H.
5. Fawaidul Bunuk Hiya Riba Al-Harrom karya DR. Yusuf al-Qorodhawi, cet Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet kedua tahun 1423 H.
6. Dan lain-lain.
[1] Al-Mashorif wa Buyutu Tamwil Islamiyyah karya Ghorib al-Jamaal hlm. 23, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu'ashiroh karya DR. Muhammad Utsman Syubair hlm. 252-253, Ar-Riba wal Mu'amalat Al-Mashrofiyyah karya Umar Al-Mutrik hlm. 309.
[2] Al-Bunuk Al-Islamiyyah Baina Nadhoriyyah wa Tathbiq hlm. 37-39 karya DR. Abdullah bin Ahmad ath-Thoyyar, Al-Mu'amalat Al-Maaliyah Al-Mu'ashiroh hlm. 253-254 karya Sa'aduddin Muhammad Al-Kibbi, Al-Jami' fi Fiqhi Nawazil 1/92 karya Shalih bin Abdillah al-Humaid.
[3] Lihat Al-Ifshoh Ibnu Hubairah 1/326, Syarh Muslim an-Nawawi 4/93-94, Az-Zawajir Al-Haitsami 1/222, Al-Muqoddimat wal Mumahhidat Ibnu Rusyd 2/503.
[4] Al-Hawii Al-Kabir 5/74.
[5] Lihat kitab Syaikh DR. Yusuf Al-Qorodhowi yang berjudul "Fawaidul Bunuk Hiya Riba Al-Harom" (Bunga Bank Adalah Riba Yang Haram), cet kedua 1421 H, Muassasah Ar-Risalah, Bairut.
[6] Lihat teks-teks keputusan tersebut dalam Fawaid Bunuk Hiya Riba Muharrom hlm. 106-122 karya Yusuf Al-Qorodhowi
dan Fiqih Nawazil oleh al-Jizani 3/136-145.
[7] Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashiroh fi Dhoui Syari'ah Islamiyah hlm. 36, dinukil juga oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam risalah Ar-Riba hlm.31-32.
[8] Lihat kitab Al-Ashroniyyun hlm. 259-261 oleh Muhammad Hamid an-Nashir dan Manhaj Tasir Al-Mu'ashir hlm. 152-161 oleh Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil.
[9] Lihat bantahan syubhat-syubhat masalah ini dalam Ar-Riba fil Mu'amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu'ashiroh karya DR. Abdullah bin Muhammad as-Saidi dan Taudhiful Amwal Bainal Masyru' wal Mamnu' oleh DR. Abdullah bin Muhammad ath-Thoyyar hlm. 64-75.
[10] Syarh Shohih Muslim 11/26.
[11] Lihat Fatawa Ulama Baladil Haram hlm. 1187-1193 kumpulan DR. Khalid al-Juraisi, Fatawa Al-Ahum wal Bunuk hlm. 53 kumpulan Abdurrahman asy-Syitri, Fatawa Lajnah Daimah 13/344 kumpulan Ahmad ad-Duwaisy.
[12] Lihat Ar-Riba fil Mu'amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu'ashiroh 2/923-959 oleh DR. Abdullah bin Muhammad as-Sa'idi, Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashiroh hlm. 267 oleh Sa'aduddin Muhammad al-Kibbi, Qodhoya Fiqhiyyah Muashiroh hlm. 16-18 oleh Muhammad Burhanuddin, Mu'amalat Bunuk Al-Haditsah hlm. 49 oleh DR. Ali As-Salus, Fatawa Lajnah Daimah 13/346-351.
[13] Lajnah Daimah adalah lembaga fatwa di Saudi Arabia, diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota: Abdullah al-Ghudayyan, Shalih al-Fauzan, Abdul Aziz Alu Syaikh, Bakr Abu Zaid. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/354).
[14] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pernah menulis surat kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz berisi pembahasan tentang uang riba yang disimpan di bank-bank. Beliau berkesimpulan bahwa uang-uang tersebut boleh untuk digunakan dalam kebaikan-kebaikan selain makan, minum dan pakaian. Dan digunakan dalam hal-hal yang akan habis seperti bensin, kayu baker, memperbaiki WC dan jalan umum serta mencetak kitab…Syaikh Ibnu Baz akhirnya menulis jawaban yang berisi bahwa beliau setuju dengan pendapatnya. (Al-Imam Al-Albani Durusun wa 'Ibar hlm. 258 karya Syaikh DR. Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan).
[15] Lihat Qodhoya Fiqhiyyah Mu'ashiroh hlm. 26-27 oleh Muhammad Burhanuddin, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mua'shiroh hlm. 276-286 karya Sa'aduddin Muhammad al-Kibbi).
[16] Alangkah bagusnya ucapan Imam Al-Mawardi: "Adapun muamalat yang munkar seperti zina dan transaksi jual beli haram yang dilarang syari'at sekalipun kedua belah pihak saling setuju, apabila hal itu telah disepakati keharamannya, maka kewajiban bagi pemimpin untuk mengingkari dan melarangnya serta menghardiknya dengan hukuman yang sesuai dengan keadaan dan pelanggaran". (Al-Ahkam As-Sulthoniyyah hlm. 406).
[17] Ini adalah ucapan penasehat ekonomi, Ibrahim bin Abdillah an-Nashir dalam kitabnya Mauqif Syari'ah Islamiyyah Minal Mashorif hlm. 1. Kitab ini telah diingkari secara keras oleh Majma' Fiqih Islam dalam Muktamar di Mekkah hari Sabtu Shofar 1408 H, dan dibantah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majalah Robithoh bulan Syawal 1407 H dan Syaikh Muhammad Rosyid al-Ghufaili dalam kitab Nutaful Ma'arif fir Roddi 'ala Man Ajaza Riba Al-Mashorif, cet Darul Wathon.
Senin, 19 November 2012
Bagaimana Penyaluran Harta Riba?
Riba sudah jelas haramnya. Namun saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian orang. Walaupun digunakan nama bunga sekalipun, riba tetaplah riba. Lalu bagaimana jika kita memiliki harta riba tersebut? Yang jelas, harta tersebut adalah harta haram yang tidak boleh kita manfaatkan. Lalu di manakah disalurkan?
Bunga Bank itu Riba
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut riba.” (Lihat “Taysir Al Fiqh”, Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H).
Penjelasan selengkapnya mengenai ribanya bunga bank, silakan baca di sini.
Pemanfaatan Dana Riba
Sependek pengatahuan kami, para ulama sepakat bahwa harta riba tidak halal bagi seorang muslim untuk memilikinya dan dimanfaatkan sendiri. Ia harus mengambilkan pada sumber dana riba tersebut jika ia ketahui.
Jika tidak diketahui dari mana berasal harta tersebut, maka bagaimanakah dana tersebut disalurkan? Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama menyatakan bahwa dana riba tersebut disalurkan untuk yang berhak menerima menurut syar’i. Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Pendapat kedua menyatakan bahwa dana tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan. Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Syafi’i.
Pendapat jumhur ulama lebih kuat. Karena harta riba bisa ada tiga kemungkinan, ditahan (dijaga), dimusnahkan atau diinfakkan. Kalau harta riba tersebut dimusnahkan, maka itu sama saja membuang-buang harta. Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga sama saja menyia-nyiakan harta tersebut, tanpa ada guna.
Di antara dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai luqothoh (barang temuan),
مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَا عَدْلٍ - أَوْ ذَوَىْ عَدْلٍ - وَلاَ يَكْتُمْ وَلاَ يُغَيِّبْ فَإِنْ وَجَدَ صَاحِبَهَا فَلْيَرُدَّهَا عَلَيْهِ وَإِلاَّ فَهُوَ مَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
“Barangsiapa yang menemukan luqothoh maka saksikanlah pada orang yang baik, jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa pemiliknya, maka kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah harta Allah yang diberina kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Abu Daud no. 1709, shahih kata Syaikh Al Albani).
Ke Manakah Harta Riba Disalurkan?
Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Lebih-lebih lagi karena sebab kemiskinan adalah karena terlilit hutang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas untuk mereka. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta riba tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.
Dalam rangka hati-hati, harta riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik harta riba tadi secara personal. Wallahu a’lam.
Semoga Allah menyelamatkan dan membersihkan kita dari harta haram. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi: Penjelasan Syaikh Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772
Selasa, 06 November 2012
20 Perilaku Durhaka Istri Terhadap Suami
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab perilaku durhaka istri terhadap suami, antara lain :
Kedudukan sosial istri lebih lebih tinggi daripada kedudukan suami,
Istri lebih kaya dari suami,
Istri lebih pandai dari suami,
Watak istri lebih keras dari suami,
Istri berasal dari lingkungan budaya yang menempatkan perempuan lebiih berkuasa daripada suami,
Istri tidak mengerti tuntunan agama yang menempatkan istri dan suami pada ketentuan yang sebenarnya.
Adapun 20 perilaku durhaka istri terhadap suami adalah sebagai berikut :
1. Mengabaikan Wewenang Suami.
Di dalam rumah tangga, istri adalah orang yang berada di bawah perintah suami. Istri bertugas melaksanakan perintah-perintah suami yang berlaku dalam rumah tangganya. Rasulullah menggambarkan seandainya seorang suami memerintahkan suatu pekerjaan berupa memindahkan bukit merah ke bukit putih atau sebaliknya, maka tiada pilihan bagi istrinya selain melaksanakan perintah suaminya.
2. Menentang Perintah Suami.
Di dalam rumah tangga, perintah yang harus dilaksanakan istri adalah perintah suami. Begitu juga larangan yang harus dilaksanakan istri adalah larangan suaminya.
Sabda Rasulullah : " Tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Tuhannya sehingga ia menunaikan hak suaminya". (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadits tersebut tidak serta merta menempatkan kedudukan suami sederaja dengan Tuhan, tetapi hanya menerangkan bahwa jika hak suami untuk ditaati isstrinya yang sesuai dengan ketentuan Allah itu dilanggar oleh istrinya, ini berarti sama dengan istri melanggar perintah Allah SWT.
3. Enggan Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami.
Perkawinan diatur oleh syari'at Islam untuk memberikan jalan yang halal bagi suami dan istri untuk melakukan hubungan seksual atau penyaluran dorongan biologis. Dengan demikian manusia dapat melakukan regenerasi keturunan dengan cara yang diridlai Allah SWT.
Karena itu, Islam menegaskan bahwasanya istri yang menolak ajakan suaminya berarti membuka pintu laknat terhadap dirinya.
4. Tidak Mau menemani Suami Tidur.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda : " ... Bila seorang istri semalaman tidur terpisah dari ranjang suaminya, maka malaikat melaknatnya sampai Shubuh."
Bila istri ingin tidur sendiri, sedang suaminya berada di rumah pada malam harinya, maka ia harus meminta ijin terlebih dahulu pada suaminya.
5. Memberatkan Beban Belanja Suami.
Allah SWT telah menegaskan bahwa setiap suami bertanggung jawab memberi nafkah istrinya sesuai dengan kemampuan. Istri yang menyadari bahwa suaminya miskin tidak dibenarkan menuntut belanja dari suaminya hanya mempertimbangkan kebutuhannya sendiri sehingga memberatkan suaminya.
6. Tidak Mau Bersolek Untuk Suaminya.
Para istri diperintahkan untuk berkhidmat pada suaminya, termasuk mengurus dirinya sendiri dengan berhias dan berdandan sehingga dapat menyenangkan hati suaminya dan menimbulkan gairah dalam hidup bersama dirinya.
7. Merusak kehidupan Agama Suami.
Istri diperintahkan untuk membantu suaminya dalam menegakkan kehidupan beragama, sedangkan suami diperintahkan untuk membimbing istri menjalankan agamanya dengan baik. Karena itu, kalau istri tidak mau membatu suami menegakkan agama, apalagi merusak iman dan akhlak agama suami, sudah tentu ia menjerumuskan suaminya ke dalam neraka.
8. Mengenyampingkan Kepentingan Suami
Dari Aisyah ra, ujarnya : saya bertanya kepada Rasulullah SAW . : " Siapakah orang yang mempunyai hak paling besar terhadap seorang wanita?" Sabdanya : " Suaminya". Saya bertanya : " Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap seorang lelaki. " Jawabnya : "Ibunya". (HR.Bazaar dan Hakim; Hadits hasan)
Jelaslah Hadits di atas bahwa kepentingan suami harus lebih didahulukan oleh seorang istri daripada kepentingan ibu kandungnya sesndiri.
9. Keluar Rumah Tanpa Izin Suami.
Istri ditetapkan oleh Islam menjadi wakil suami dalam mengurus rumah tangga. Karena itu bilamana ia keluar meninggalkan rumah, maka dengan sendirinya ia harus lebih dulu mendapatkan izin suaminya. Bila ia tidak minta izin dan keluar rumah dengan kemauannya sendiri, maka ia telah melanggar kewajibannya terhadap suami, sedangkan melanggar kewajiban berarti durhaka terhadap suaminya.
10. Melarikan Diri Dari Rumah Suami
Rasulullah saw bersabda : "Dua golongan yang sholatnya tidak bermanfaat bagi dirinya yaitu hamba yang melarikan diri dari rumah tuannya sampai ia pulang; dan istri yang melarikan diri dari rumah suaminya sampai ia kembali." (HR. Hakim, dari Ibnu 'Umar)
11. Menerima Tamu Laki-laki Yang Tidak Disukai Suami.
Dalam sebuah Hadits, Rasulullah telah menegaskan bahwa seorang istri diwajibkan memenuhi hak-hak suaminya. Diantaranya yaitu :
a. Tidak mempersilakan siapapun yang tidak disenangi suaminya untuk menjamah tempat tidurnya.
b. Tidak mengizinkan tamu masuk bila yang bersangkutan tidak disukai oleh suaminya.
(HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, Hadits hasan shahih)
12. Tidak Menolak Jamahan Lelaki Lain.
".... maka wanita-wanita yang shalih itu ialah yang taat lagi memelihara (dirinya dan harta suaminya) dikala suaminya tidak ada sebagaimana Allah telah memeliharanya..." (QS. An-Nisaa' (4) ayat 34)
Rasulullah menjelaskan bahwa seorang istri yang membiarkan dirinya dijamah lelaki lain boleh diceraikan. Hal itu menunjukan bahwa perbuatan istri tersebut adalah durhaka terhadap suaminya.
13. Tidak Mau merawat Ketika Suami Sakit.
Bila seorang istri menolak merawat suami yang sakit dengan alasan sibuk kerja atau tidak ada waktu karena merawat anak, maka ia telah melakukan tindakan yang tidak benar.
14. Puasa Sunnah Tanpa Izin Saat Suami Di Rumah.
Dari Abu Harairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: " Seorang istri tidak halal berpuasa ketika suami ada di rumah tanpa izinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
15. Menceritakan Seluk Beluk Fisik Wanita Lain Kepada Suami.
Dari Ibnu Mas'ud, ujarnya : Rasulullah saw. bersabda: "Seorang wanita tidak boleh bergaul dengan wanita lain, kemudian menceritakan kepada suaminya keadaan wanita itu, sehingga suaminya seolah-olah melihat keadaan wanita tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim)
16. Menolak Kedatangan Suami Bergilir Kepadanya.
Seorang istri yang dimadu, tetap mempunyai kewajiban untuk mentaati perintahnya, menyenangkan hatinya, berbhakti dan selalu berperilaku baik kepada suaminya ketika ia datang bergilir.
17. Mentaati Perintah Orang Lain Di Rumah Suaminya.
18. Menyuruh Suami Menceraikan Madunya
19. Minta Cerai Tanpa Alasan Yang Sah.
20. Mengambil Harta Suami Tanpa Izinnya.
Sumber: http://id.shvoong.com/books/dictionary/2195434-20-perilaku-durhaka-istri-terhadap/#ixzz1rPn4T5CC
Langganan:
Postingan (Atom)